
KONFLIK TATA BATAS LAHAN WARGA DENGAN PERKEBUNAN SAWIT ASTRA GROUP DI KAB PASANGKAYU SULAWESI BARAT
Oleh : Izhar Ma’sum Rosadi, Pemerhati dan Ketum DPP LSM BALADAYA ,Jum,at 13 Desember 2025.
badarnusantaranews.com-Sengketa Tata Batas Perkebunan Warga dengan Perkebunan Kelapa Sawit Astra Group di daerah otonom, pemerintahan daerah kabupaten Pasangkayu dan pemerintahan daerah provinsi Sulawesi Barat. Dalam kalimat pertama tersebut menekankan pada kata “Pemerintahan Daerah”, malah dua kali disebut. Oleh sebab itulah alangkah baiknya kita pahami dulu apa itu pemerintahan daerah? Dan siapa aktor penyelenggara pemerintahan daerah? Hukum Positif di Indonesia, sebagaimana pada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 1 menyatakan: Daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dari pasal 1 tersebut kita mesti perhatikan bahwa bukan “kepala daerah” yang disebut sebagai daerah otonom. Yang diakui sebagai daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum. Pasal ini secara eksplisit menegaskan bahwa Aktor utama yaitu masyarakat hukum dalam masyarakat yang tinggal di daerah setempat. Bukan pejabatnya: gubernur, bupati, walikota, anggota DPR dan penegak hukum.
Berdasarkan penjelasan resmi UUD 1945, dijelaskan bahwa: Daerah otonom adalah locale rechtsgemeenschap (kesatuan masyarakat hukum setempat) yang memiliki hak mengatur (regelen) dan mengurus (bestuuren) rumah tangganya sendiri. Ini adalah konsep yang sangat penting dan berasal dari tradisi hukum Belanda. Di sini jelas bahwa subjek otonomi bukan pejabat, melainkan komunitas hukum yang hidup dan berorganisasi. Jadi sejak awal, konsep daerah otonom tidak pernah dimaksudkan sebagai “wilayah kekuasaan kepala daerah”, tapi sebagai wilayah kekuasaan komunitas hukum yang diakui sebagai badan hukum publik oleh UU. Prof. Hanif Nurcholis (2025) menyebut secara eksplisit: Pemerintahan daerah adalah sistem penyelenggaraan kekuasaan publik oleh masyarakat hukum di wilayah tertentu yang dilembagakan melalui struktur pemerintahan. Kesalahan umum yang berkembang di Indonesia: Kepala daerah adalah aktor utama pemerintah daerah. Masyarakat daerah setempat adalah objek kebijakan dari kepala daerah. Ini melahirkan fenomena: Feodalisme lokal. Personalisasi kekuasaan. “Raja kecil” di daerah. Jadi, aktor utama penyelenggara pemerintah daerah adalah Kesatuan masyarakat hukum setempat. Kesatuan masyarakat hukum ini lalu memberikan kepercayaan kepada DPRD untuk membuat kebijakan yang dapat menyejahterakan dirinya lalu dilaksanakan oleh kepala daerah (Pelaksana Kebijakan). Dan jika di level pemerintahan pusat, aktor utama penyelenggara pemerintah pusat adalah Kesatuan masyarakat hukum se-nasional, yang memberikan kepercayaan kepada DPR RI untuk membuat kebijakan yang dapat menyejahterakan dirinya lalu dilaksanakan oleh Presiden (baca: Pelaksana Kebijakan).

Saya mengikuti ceritera tentang nasib warga secara langsung juga dari sosial media. Mengingat reputasi pelaksana kebijakan juga penegak hukum di negeri kita yang banyak dipenuhi oleh “orang tak terpercaya”, alias amburadul. Oleh sebab itu, saya memilih untuk ikut menyuarakan hati agar warga yang bersengketa dengan Astra Group di kabuaten Pasangkayu mendapat keadilan agraria sepantasnya. Orang yang belajar hukum sudah semestinya pernah dengar kalimat: “it is better that ten guilty persons escape than that one innocent suffer.” Jadi, dengan membaca bagaimana proses peradilan berjalan, saya kok berkeyakinan warga yang bersengketa dengan Astra Group di kab Pasangkayu memang warga memiliki hak, berdasarkan Surat Keterangan Tanah dan Surat Garapan Lokasi (Produk kesatuan masyarakat hukum setempat). Karena itu, jangan sampai ia menderita akibat keputusan pelaksana kebijakan dan atau jaksa/hakim yang tak berntegritas sehingga menjadikan warga kehilangan haknya. Mungkin hanya dengan sanksi sosial yang berat, para pembuat dan pelaksana kebijakan, juga jaksa dan hakim di negeri ini merenung berkali kali,- jika rekomendasi kebijakan dari para pembuat dan pelaksana kebijakan hanyalah berupa kertas dan rekomendasi kebijakan tersebut tidak kunjung bisa dilaksanakan,- sebelum memutuskan perkara sengketa agraria antara warga dengan Astra Group di kab Pasangkayu .
Sengketa Tata Batas Perkebunan Warga dengan Perkebunan Kelapa Sawit Astra Group di kab pasangkayu Sulawesi Barat, sudah menjadi perhatian, tak hanya di level pemerintahan daerah tetapi di level pusat/nasional. Proses penyelesaiannya cenderung mengulang dan belum menemukan solusi sampai tulisan ini dibuat. Sebagai aktivis, penulis sudah tentu berpegang pada prinsip: “I don’t trust words, I even question actions. But I never doubt patterns.”
Jadi melihat suatu pola itu penting!
———————————————————————
DISCLAIMER: Analisis ini adalah 100% “Tidak Bermaksud Menyudutkan”. Oleh karena “Tidak Bermaksud Menyudutkan” yang menjadi “raison d’être”-nya, ya Anda jangan baper. Yang tidak suka dengan analisis ini, silahkan berhenti membaca sampai paragraf disclaimer ini saja. Yang penasaran, silahkan lanjut membaca.
———————————————————————
Saya menggunakan analisis kronologis untuk melihat suatu pola (pattern). Maka, periodisasi adalah suatu kemutlakan. Kronologinya begini….
Berdasarkan studi dokumen dan media intelligence, mengungkap hal-hal sebagai berikut :
Eko Rusdianto, dalam tulisannya yang berjudul “Konflik Lahan antara Warga dan Perusahaan Sawit Astra Tak Kunjung Usai” (Mongabay Indonesia, 2019) menguraikan, “Pada 1991, ketika Rambuyu berusia 32 tahun, perusahaan tim Mamuang datang mengukur lahan di kampungnya. “Kenapa kampung diukur?” katanya.”Ini untuk memetakan luasan Kampung Pasang Kayu,” kata tim perusahaan. ……. Beberapa bulan kemudian……… Beberapa kuburan ikut dirusak. Kakao, kopi, kelapa dekat rumah, hingga padi musnah. “Bapak saya menangis saksikan itu. Orang-orang kampung menangis. Tidak bisa melawan,” kata Rambuyu……………..Ketika beberapa warga mulai mempertanyakan hak tanah mereka pada 2012, DPRD Mamuju Utara (sekarang Pasang Kayu) menggelar dengar pendapat. Pada 24 Mei 2012, dewan kabupaten mengirimkan surat pada PT Pasang Kayu, dengan dua poin utama. Pertama, memberikan kebebasan pada kelompok tani mengukur kembali wilayah mereka sepanjang tak memasuki HGU perusahaan. Kedua, dalam penanaman baru maupun penanaman kembali (replanting) perusahaan tak memasuki perkebunan masyarakat. Apa daya, kondisi lapangan tak pernah sejalan. Perusahaan tetap menanam dan tak pernah memberikan izin masyarakat mengukur lahan sendiri.”
Kemudian, setidak-tidaknya dalam rentang waktu tahun 2008 hingga 2016, terjadi perkara sengketa lahan antara Kelompok Pemberdayaan Masyarakat Tani dan Nelayan Pesisir Pantai Kabupaten Mamuju Utara (KPM MATRA) dengan PT Mamuang di Kab Pasangkayu Sulawesi Barat, telah diperiksa melalui 2 jalur, yakni Jalur hukum telah ditempuh melalui dua upaya hukum. Pada upaya hukum yang pertama bahwa perkara tersebut diperiksa dan telah diputus oleh Pengadilan Negeri Mamuju dengan register nomor 03/Pdt.G/2008/PN.Mu tanggal 04 Februan 2008, yang pada pokoknya menyatakan bahwa, pertama, tanah kelompok tani Perintis yang terletak di Dusun Kabuyu Desa Martasari ± 500 Ha (wilayah obyek sengketa Bambasibuntu) pada Titik Koordinat 01°16′30.0″ LS dan 119°25′40.4 BT, dengan batas-batas sebagai berikut: Sebelah utara: Sungai Bayu, Sebelah Timur: Lokasi UPT Lalundu V, Sebelah Selatan: Sungai Pasangkayu, dan Sebelah Barat : Kebun PT Mamuang; Tanah kelompok tani Teladan Sejahtera yang terletak di Dusun Kabuyu Desa Martasari Kecamatan Pasangkayu Kabupaten Mamuju utara ± 450 H (wilayah obyek sengketa Pinogio), pada Titik Koordinat 01°15′27.2″ LS dan 119°29′45.6 BT, dan Titik Koordinat 01°17′16.6″ LS dan 119°28′31.5 BT, dengan batas-batas sebagai berikut: Sebelah utara: Kebun PT Mamuang, Sebelah Timur: Batas Provinsi Sulawesi Tengah, Sebelah Selatan: Sungai Pasangkayu, Sebelah Barat: Kebun PT Mamuang; dan Tanah kelompok tani Sijampangi yang terletak di Desa Tikke Kecamatan Pasangkayu Kabupaten Mamuju Utara seluas ± 750 Ha (wilayah obyek sengketa Pedongga), pada Titik Koordinat 01°18′20.3″ LS dan 119°23′28.7 BT, Titik Koordinat 01°18′20.3″ LS dan 119°23′28.7 BT, dan Titik Koordinat 01°17′20.4″ LS dan 119°20′32.4 BT dengan batas-batas sebagai berikut, Sebelah utara: Batas Transmigrasi Desa Martasari, Sebelah Timur: Gunung Sambolo, Sebelah Selatan: Kampung Pajalele, Sebelah Barat: Ji.Poros trans Sulawesi Barat. Ketiga tanah tersebut adalah milik para kelompok tani di atas.
Kedua, menghukum tergugat PT Mamuang atau pihak ketiga yang turut memperoleh hak daripadanya untuk menyerahkan tanah obyek sengketa tersebut kepada penggugat seketika tanpa syarat apapun juga. Pertimbangan Majelis Hakim PN Mamuju dalam perkara Nomor nomor 03/Pdt.G/2008/PN.Mu menyatakan,bahwa sesuai fakta hukum yang diperoleh sebagaimana tersebut diatas bahwa hanya ada 3(tiga) titik koordinat yang letaknya berada diluar HGU Tergugat tapi masih dalam wilayah pelepasan, dimana ketiga titik koordinat tersebut masuk dalam wilayah obyek sengketa Kelompok Tani Teladan Sejahtera dan Kelompok Tani Perintis sehingga Majelis Hakim hanya akan mempertimbangkan tanah obyek sengketa tersebut sedangkan tanah obyek sengketa yang letaknya berada dalam areal HGU Tergugat tidak di pertirnbangkan karena tidak didalikan oleh Penggugat. Bahwa ternyata Tergugat tidak mempunyai alas hak berupa Serifikat HGU alas Pelepasan Kawasan Hutan yang kedua yaitu pada tahun 1993 seluas 3616.40 Ha tempat dimana lokasi obyek sengketa tersebut berada sebagaimana Berita Acara Tata Batas tanggal 04 Oktober 1993 dalam Peta Tata Batas Kawasan Hutan sehingga Majelis hakim berpendapat bahwa penguasaan tergugat terhadap Pelepasan Kawasan kedua tidak sah karena tidak didasari alas hak berupa sertifikat HGU Sebagaimana Pelepasan Kawasan Hutan yang pertama: Bahwa berdasarkan pertimbangan diatas maka Majelis Hakim berpendapat bahwa perbuatan Tergugat menguasai tanah-tanah masyarakat kelompok tani tersebut adalah tanpa hak dan melanggar karena Tergugat tidak mempunyai alas hak berupa Sertifikat HGU atas kawasan tersebut. Bahwa terhadap titik koordinat yang letaknya berada pada obyek sengketa diluar HGU dan diluar Pelepasan Kawasan Hutan. Meskipun tanah obyek sengketa tersebut dikuasai oleh pihak lain yaitu PT.Letawa, namun secara fisik dikuasai oleh PT.Mamuang (Tergugat) berdasarkan hasil Pemeriksaan setempat bahwa diatas tanah tersebut ditanami kelapa sawit oleh Tergugat. Majelis Hakim berpendapat bahwa penguasaan Tergugat terhadap tanah obyek sengketa tersebut juga tidak sah dan melanggar hukum: Bahwa oleh karena telah terbukti bahwa tanah yang dikuasai oleh Tergugat sebagian dari tanah obyek sengketa yang didalilkan Penggugat maka Majelis Hakim dapat mengabulkan sebatas yang dikuasai oleh Tergugat sebagaimana dalam Petitum gugatan Penggugat: Bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diafas. Penggugat telah dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya, sedangkan tergugat telah gagal mempertahankan dalil-dalil bantahannya, maka gugatan Penggugat patut dikabulkan.
Atas putusan tersebut Tergugat PT Mamuang mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Makassar. Banding tersebut teregister nomor 22/PDT/2009/ PT MKS, yang dalam amar putusannya pada pokoknya menyatakan, menerima permintaan banding dari Tergugat/Pembanding. Kemudian menguatkan putusan Pengadilan Negeri Mamuju Nomor 03/Pdt.G/2008/PN.Mu. Pertimbangan hukum putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor 22/PDT/2009/ PT MKS menyatakan, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi berpendapat bahwa pertimbangan hukum Majelis Hakim tingkat pertama sudah tepat dan benar menurut hukum, karena telah mempertimbangkan semua unsur-unsur yang dihubungkan pula dengan fakta-fakta yang terungkap di persidangan. Karenanya, pertimbangan hukum Majelis Hakim tingkat pertama diambil alih sepenuhnya dan dijadikan sebagai pertimbangan hukum Majelis Hakim Pengadilan Tinggi. Bahwa terhadap putusan a quo, pembanding in casu Tergugat mengajukan keberatan melalui memori bandngnya, dan setelah dicermati hanya pengulangan dari jawaban dan kesimpulan yang sama sehingga memori banding, kontra memori banding Tergugat ditolak.
Selanjutnya atas putusan banding tersebut, Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Selanjutnya Majelis Hakim kasasi telah memutus dengan amar Putusan Nomor 2744 K/Pdt/2009 yang pada pokoknya menyatakan, menolak permohonan kasasi pemohon kasasi I/Kelompok Pemberdayaan Masyarakat Tani dan Nelayan Pesisir Pantai Kabupaten Mamuju Utara, mengabulkan permohonan kasasi dari pemohon kasasi II/ PT Mamuang, membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor 22/PDT/2009 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Mamuju Nomor 03/Pdt.G/2008/PN.Mu. Wewenang penggugat sebagai kuasa hokum dalam perkara ini tidak memiliki kualifikasi sebaaimana yang dimaksud pada Pasal 22 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004. Padahal Pasal 32 No. 18 Tahun 2004, bukan Advokat, melainkan Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 adalah Undang-Undang tentang Perkebunan. Majelis Hakim Kasasi memberikan pertimbangan bahwa pengajuan dan pemeriksaan gugatan kelompok/ class action haruslah memperhatikan PerMA Nomor 01 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok.
Selanjutnya atas putusan kasasi tersebut, Penggugat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung. Majelis Hakim kasasi telah memutus dengan amar Putusan Nomor 609 PK/Pdt/2011 yang pada pokoknya menyatakan, menolak permohonan dari pemohon Peninjauan kembali Penggugat, dalam hal ini bertndak untuk diri sendiri dan sebagai Ketua Umum Kelompok Pemberdayaan Masyarakat Tani dan Nelayan Pesisir Pantai Kabupaten Mamuju Utara. Majelis Hakim Peninjauan Kembali memberikan pertimbangan bahwa alasan- alasan dalam permohonan peninjauan kembali tidak dapat dibenarkan, tidak terdapat alasan hokum sebagai dasar diajukannya peninjauan kembali sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 57 Undang-Undang Nomor 14Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009.
Kemudian, upaya hukum kedua terjadi pada tahun 2013, Kelompok Pemberdayaan Masyarakat Tani dan Nelayan Pesisir Pantai Kabupaten Mamuju Utara melakukan perjuangan mencari keadilan dengan mengajukan gugatan kembali ke Pengadilan Negeri Mamuju Utara dengan register perkara Nomor: 04/Pdt.G/2013/PN.PKY tanggal 8 Oktober 2014, Dalam perkara ini, terdapat 619 penggugatyang kesemuaannya menguasakan kepada Advokat dari law Office. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mamuju Utara memberikan amar putusan “Gugatan Penggugat tidak dapat diterima.” Kemudian, Para Penggugat maupun Tergugat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Makassar.teregister Nomor 39/PDT/2015/PT MKS, tanggal 22 April 2015, yang dalam amar putusannya menguatkan putusan Pengadilan Negeri Mamuju Nomor 04/Pdt.G/2013/PN.PKY tanggal 8 Oktober 2014. Atas putusan tersebut, PT Mamuang mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung. Selanjutnya Majelis Hakim kasasi telah memutus dengan amar Putusan Nomor 3130 K/Pdt/2015, tanggal 18 Agustus 2016 yang pada pokoknya menyatakan, menolak permohonan kasasi.
Pertimbangan Majelis Hakim kasasi, bahwa terhadap alasan-alasan yang diajukan, dalam permohonan kasasi sebagaimana termuat dalam memori kasasi tersebut tidak dapat dibenarkan dan Judex Facti tidak salah menerapkan hukum karena tanah perkara yang dimaksud tidak jelas dan terang luas masing-masing yang diklaim telah dikelola oleh Para Penggugat sehingga telah tepat dan benar pertimbangan Judex Facti, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima sedangkan terkait gugatan terkait terjadinya pembakaran dumb truck milik Pemohon Kasasi tidak dapat diperiksa dan dipertimbangkan dalam gugatan perkara a quo akan tetapi dapat diajukan dalam gugatan tersendiri; Bahwa lagipula alasan-alasan tersebut mengenai penilaian hasil pembuktian yang bersifat penghargaan tentang suatu kenyataan, hal mana tidak dapat dipertimbangkan dalam pemeriksaan pada tingkat kasasi, karena pemeriksaan dalam tingkat kasasi hanya berkenaan dengan adanya kelalaian dalam memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan atau bila Pengadilan tidak berwenang atau melampaui batas wewenangnya. Pendapat Majlis Hakim Kasasi bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, ternyata putusan Judex Facti / Pengadilan Tinggi Makassar dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi PT MAMUANG tersebut harus ditolak.
Upaya penyelesaian di luar jalur hukum adalah penyeleaian konflik oleh pemerintah daerah, bahwa Gubernur Sulawesi Barat membentuk Satuan Tugas Penyelesaian Sengketa dan Konflik Pertanahan Antara PT. Mamuang dengan Kelompok Pemberdayaan Masyarakat Mamuju Utara melalui Surat Keputusan Gubernur Sulawesi Barat Nomor 188.4/124/SULBAR/I/2017 tanggal 30 Januari 2017 tentang Pembentukan Satuan Tugas Penyelesaian Sengketa dan Konflik Pertanahan Antara PT. Mamuang dengan Kelompok Pemberdayaan Masyarakat Mamuju Utara di Kabupaten Mamuju Utara Provinsi Sulawesi Barat Tahun Anggaran 2017. Satgas tersebut menghasilkan Final Report yang dibuat pada 21 Mei 2019, sebagai dasar kepada pemangku kebijakan dalam ini Gubernur Provinsi Sulawesi Barat mengambil keputusan/Rekomendasi: Bahwa Badan pertanahan Nasional Kab. Mamuju, sekarang Kab Pasangakayu, Provinsi Sulawesi Selatan, sekarang Provinsi sulawesi barat, dalam menerbitkan sertipikat Hak Guna Usaha No. I/Martajaya/1997 Kab. Mamuju dengan Gambar Situasi No. 23/Martajaya/1994 tanggal 14 Juni 1994. Dan pula Gambar Situasi Nomor: 23/1994 tanggal 14 Juni 1994. No. 1/Martasari/1994; Bahwa terhadap fakta hukum tersebut diatas, yang mana sertipikat HGU No. I/Martajaya/1997 tersebut mempunyai 2 macam Gambar situasi dengan tempat yang berbeda; Bahwa berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 Tentang Tata Cara Pemberian Dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara Dan Hak Pengelolaan, “maka berdasarkan pasal 106 berbunyi: Ayat 1 (satu) “Keputusan Pembatalan hak atas tanah karena cacad hukum administrative dalam penerbitannya, dapat dilakukan karena permohonan yang berkepentingan atau oleh pejabat yang berwenang tanpa permohonan ” Ayat 2(dua) ” Permohonan Pembatalan hak dapat diajukan langsung kepada Menteri atau Pejabat yang ditunjuk atau melalui Kepala Kantor Pertanahan”. Pasal 107 berbunyi Cacad hukum administrative sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) adalah: a. Kesalahan prosedur; b. Kesalahan penerapan peraturan perundang-undangan (Berbeda Pelepasan Kawasan Hutan dengan Hak Guna Usaha PT. Mamuang); c. Kesalahan subjek hak;d. Kesalahan objek hak; (HGU Desa Martajaya sedangkan Obyek Fakta dilapangan Desa Martasari); e. Kesalahan jenis hak; f. Kesalahan perhitungan luas; (Berbeda HGU dengan Pelepasan Kawasan Hutan); g. Terdapat tumpang tindih hak atas tanah: (Tanah masyarakat yang berdasarkan Surat Keterangan Tanah (SKT) dan Surat Garapan Lokasi; h. Data yuridis atau data fisik tidak benar, (HGU dengan Pelecxcxc; dan Kesalahan lainnya yang bersifat hukum administrative; Bahwa letak lokasi yang dimaksud pada sertipikat Hak Guna Usaha No.1/Martajaya/1997, tidak sesuai dengan lokasi yang sesungguhnya dikelolah oleh PT. Mamuang berkedudukan di Jakarta, karena letak sesungguhnya lokasi yang dikelolah adalah Desa Martasari Kec. Pasangkayu Kab. Mamuju Utara, sekarang Kab. Pasangkayu Provinsi Sulawesi Barat; Bahwa fakta yang di hasilkan oleh Satgas setelah Overlay Gambar BPKH dengan Gambar Situasi Hak Guna Usaha PT. Mamuang No. 1/1997/Desa Martajaya Kab. Mamuju, kini Kab. Pasang kayu adalah adanya Gambar situasi Hak Guna Usaha tersebut diatas, tidak sesuai dengan pengelolaan Hak Pelepasan Hutan yang di berikan A.n. PT. Mamuang oleh Menteri Kehutanan, sesuai surat keputusan Menteri Kehutanan No. 96/pts 11/1996; Bahwa sertipikat Hak Guna Usaha No. 1/Marta Jaya/1997/tidak sesuai; a. Dengan Surat Keputusan Menteri Kehutan No.96/kpts-11/1996 tentang Pelepasan Sebagian Kawasan Hutan Yang Terletak Di Kelompok Hutan Sungai Pasang Kayu Kabupaten Daerah Tingkat II Mamuju. Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan Seluas 12.901,40 (Dua Belas Ribu Sembilan Ratus Satu, Empat Puluh Perseratus) Hektar Untuk Usaha Budi Daya Perkebunan Kelapa Sawit Atas Nama PT. Mamuang; b Dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: 236/Menhut-11/93 perihal” persetujuan pencadangan Tambahan areal hutan seluas 4.860 ha, di propinsi Sulawesi Selatan, sekarang Sulawesi Barat”.
Kemudian dari kesimpulan Satgas tersebut diatas, Gubernur Sulawesi Barat memberkan rekomendasi sebagaimana pada Surat Rekomendasi Gubernur Sulawesi Barat Nomor 2100/2609/IX/2019 tanggal 10 September 2019 tentang Penyelesaian Konflik Lahan dan Sengketa Pertanahan Antara Kelompok Pemberdayaan Masyarakat (KPM) Mamuju Utara dengan PT Mamuang (Astra Group) di Kabupaten Pasangkayu Provinsi Sulawesi Barat, yang isinya memberikan rekomendasi kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi Barat pada intinya untuk melakukan pengukuran ulang atau pengembalian batas terhadap Hak Guna Usaha Nomor 1/Martajaya, melakukan enclave terhadap HGU Nomor 1/Martajaya, melakukan pola kemitraan antara KPM dan PT Mamuang, melakukan upaya penyelesaian konflik dengan cara ganti rugi pada 8 (delapan) titik koordinat sesuai hasil peninjauan lapangan tanggal 28 Maret 2018 serta memperhatikan Diktum Kelima, Keenam dan Ketujuh pada Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 96/Kpts-II/1996 tanggal 19 Maret 1996.
Selain daripada upaya pemerintahan daerah, pemerintahan pusat juga melakukan berbagai upaya, diantaranya: Direktur Pencegahan dan Penanganan Konflik Pertanahan Kementrian ATR/BPN Republik Indonesia bersurat dengan Nomor SK.06.03/22-800.38/1/2021 tanggal 25 Januari 2021 tentang Penanganan Konflik Lahan antara Kelompok Pemberdayaan Masyarakat Mamuju Utara dengan PT Mamuang, kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi Barat, yang isinya meminta kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi Barat untuk; Melakukan penelitian data yuridis, data fisik dan data administrasi terhadap penerbitan Hak Guna Usaha Nomor 1/Martajaya atas nama PT Mamuang: Melaporkan hasil penanganan yang telah dilakukan; dan Melakukan pengkajian terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan dan melaporkan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Direktur Jenderal Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan dalam waktu yang tidak terlalu lama disertai dengan pertimbangan dan pendapat Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi Barat.
Kemudian, berdasarkan pada Risalah Rapat Kerja Komisi IV DPR RI dengan Menteri Lingkungan Hidup Dan Kehutanan, Tahun Sidang 2022-2023 masa persidangan ke- IV (empat) Rapat Ke- : 5 (lima) di ruang rapat Komisi IV DPR RI (KK IV) Gedung Nusantara DPR RI, Senayan, Jakarta Selasa, 28 Maret 2023, Dr. H. SUHARDI DUKA, M.M dari Fraksi Demokrat menyampaikan, “Yang pertama saya ingin sampaikan dulu kondisi di daerah yaitu terhadap konflik PT Mamuang dari Astra dengan masyarakat Kabuyu di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat. Sebenarnya masyarakat Kabuyu ini adalah masyarakat adat, dia sudah menanam sawit di situ, tapi setelah keluar apa ya kawasan hutan ini diberikan kepada PT Mamuang, mendapatkan HGU, kemudian PT Mamuang membabat sawit rakyat ini. Jadi, sebenarnya yang keliru ini siapa ini, di satu sisi rakyat kita korban akibat ya janganlah sawitnya yang rakyat di… di… dengan alasan bahwa PT Mamuang ini menganggap bahwa ini HGU saya. Saya minta tolong kepada Ibu Menteri bisa melihat ini secara lebih bijak terhadap kondisi kita di daerah.”
Merujuk pada rentetan kronologis di atas, kita dapat pahami bahwa ada indikasi masalah dalam tata kelola perkebunan sawit Astra Grup di kab Pasangkayu, dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bahwa subyek hukum yang memiliki masalah sawit dalam kawasan hutan sampai berakhirnya jangka waktu penyelesaian yang ditetapkan dalam PP Nomor 24 Tahun 2021, yaitu selambat-lambatnya sampai dengan 2 November 2023. Pun jua dengan konflik lahan yang juga semestinya dapat diselesaikan guna dapat mencapai Visi Indonesia Emas 2045. Namun, berdasarkan pantauan penulis, bahwa sekaitan dengan adanya Konflik Kelompok Pemberdayaan Masyarakat (KPM) Mamuju Utara dengan PT. Mamuang (Astra Group) di Kab. Pasangkayu, Prov. Sulawesi Barat Sulawesi Barat, yang mana Direktur Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) pada Kementerian LHK RI belu menyelesaikan konflik dan hanya menyampaikan Surat ke Presiden RI, Joko Widodo. Hal yang sama juga terjadi atas konflik lahan yang belum selesai antara Komunitas Adat Suku Tado dengan Perkebunan PT. Letawa di Kab Pasangkayu Provinsi Sulawesi Barat, bahwa Direktorat PKTHA telah bersurat kepada Komunitas Adat Suku Tado untuk menindaklanjuti penanganannya dengan Kementerian ATR/BPN karena objek konflik berada di APL (Sumber: Laporan Kinerja Direktorat Penanganan Konflik Tenurial dan Hutan Adat (PKTHA) 2023).
Waktu berjalan dan tampak angin berubah. Prabowo Subianto menang pemilu. Di bawah pemerintahan sekarang, terbit Perpres No 5/2025 pada Januari lalu, ada upaya pemerintah untuk menertibkan wilayah hutan melalui Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan atau Satgas PKH. Dalam rapat kerja Komisi IV DPR dengan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni beserta jajarannya di Gedung DPR, Jakarta, Senin 24 November 2025, Menhut Raja Juli mengatakan, sejak penerbitan Perpres No 5/2025 pada Januari lalu, sejumlah tugas yang ada di Kemenhut dilebur ke Satgas PKH. Tidak hanya Kementerian Kehutanan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kementerian Pertanian juga demikian. Sebab, Satgas PKH merupakan tim yang bertugas menertibkan penguasaan kawasan hutan yang di sektor perkebunan, pertambangan, dan kegiatan lainnya. Adapun kawasan hutan adalah wilayah yang ditetapkan pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Terkait keberadaan perkebunan sawit atau pertambangan di kawasan hutan. Tim Kemenhut yang ada di satgas kemudian akan mengidentifikasi ada tidaknya pelanggaran, penguasaan luasan hutan, hingga penentuan denda sesuai Peraturan Pemerintah No 45/2025. Satgas PKH telah melakukan pemasangan papan plang penertiban di lokasi perkebunan milik PT Pasangkayu, tepatnya di Afdeling Bravo 13, pada Kamis, 10 Juli 2025. Relasi public.com (2025) menyatakan bahwa berdasarkan berita acara, lahan yang menjadi objek penertiban seluas 861,71 hektare. Dari jumlah tersebut, 85 hektare berada dalam areal tanam perusahaan, sementara 776,71 hektare berada di luar areal tanam dan diduga dikuasai oleh masyarakat.
Sudah puluhan tahun lamanya konflik belum terselesaikan, and I never doubt patterns. Pola “lines to take”-nya bergerak dari 1988 pada program unggulan pemerintah Suharto untuk menanam komoditi coklat, kemudian perusahaan perkebunan sawit dan mulailah terjadi sengketa tata batas lahan dari rezim SBY hingga rezim Jokowi yang belum terselesaikan. Namun kini, di rezim Prabowo mulai mencuat ke publik, dimana ada government standing melalui turunnya Satgas PKH perkebunan sawit yang berada di Kabupaten Pasangkayu. Juga dibentuknya Pansus Agraria baik di DPR RI maupun di DPRD Kabupaten Pasangkayu. Kesatuan masyarakat hukum setempat, beberapa diantaranya yaitu para tokoh masyarakat desa Lariang dan Jengeng, Kecamatan Tikke Raya, dan Gerakan Masyarakat Menggugat (GERAM) telah melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pansus Agraria DPRD Kab Pasangkayu pada 31 Oktober 2025 dan 20 November 2025. Hasil Rapat-Rapat tersebut menegaskan kembali agar BPN segera melakukan pengukuran ulang, pemeriksaan dokumen HGU, serta pemetaan batas konsesi secara menyeluruh agar konflik agraria tidak terus berlarut. Sementara itu, ada juga warga korban yang bersurat ke instansi pemerintahan terkait, mengingatkan Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Sulawesi Barat agar melaksanakan surat keputusan Direktur Pencegahan dan Penanganan Konflik Pertanahan Kementrian ATR/BPN Republik Indonesia tentang Penanganan Konflik Lahan antara Kelompok Pemberdayaan Masyarakat Mamuju Utara dengan PT Mamuang, tanggal 25 Januari 2021.
Merujuk pada ketiga aspirasi dari kesatuan masyarakat hukum setempat yang sudah memberikan kepercayaan kepada DPR untuk membuat kebijakan, yang dapat menyelesaikan konflik tata batas lahan, untuk dapat dilaksanakan oleh pelaksana kebijakan/pemerintah dan jajarannya, sehingga kesatuan masyarakat hukum setempat terbebas dari sengketa tata batas lahannya dengan HGU Astra Grup. Pada Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Pansus Agraria DPRD Kab Pasangkayu, 12 September 2025, Farid dari Fraksi Gerindra menekankan agar konflik ini segera dituntaskan agar tidak ada korban. “Kalau dibiarkan, masyarakat bisa jadi korban. Itu catatan penting bagi DPRD. Akhirnya dari RDPU itu menegaskan kembali agar BPN segera memetakan ulang wilayah konflik. DPRD berkomitmen mengawal agar penyelesaian bisa tercapai tahun ini. Tahun ini sudah masuk di bulan Desember, detik-detik tahun ini berakhir! Apa yang menjadi pergulatan para “strategists” di kubu kesatuan hukum masyarakat setempat, Astra Group dan Pemerintah Daerah Kab Pasangkayu (DPRD, BPN, dan lain-lainnya yag terkait) racing against the clock to shift the momentum?
Dalam RDPU yang digelar di ruang aspirasi DPRD Pasangkayu, Jumat 12 September 2025, Ketua Fraksi Gerindra, Farid Zuniawansyah, mengkritik keras kinerja Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang dinilai lamban menuntaskan masalah HGU. RDPU yang digelar pada Jumat 31 Oktober2025, merupakan tindak lanjut dari aspirasi masyarakat yang disampaikan pada 6 Oktober 2025 lalu, terkait dugaan tumpang tindih lahan antara warga dan perusahaan, bahwa dalam rapat itu, perwakilan BPN mengungkap bahwa hingga kini pihak perusahaan belum memberikan tanggapan atas permintaan penataan batas ulang wilayah HGU mereka. Secara sepintas, batas HGU belum pernah dilakukan penataan ulang sejak penerbitan di tahun 1994. Untuk membuktikan lebih jelas, harus dilakukan pengukuran ulang. Ini menyangkut masalah hokum. Sementara, Asisten I Setda Pasangkayu, Dr. Badaruddin, mengingatkan pentingnya itikad baik semua pihak. Kalau mau selesai, semua pihak harus legowo memperlihatkan dasar kepemilikan masing-masing. Jangan saling menunggu. RDPU yang digelar pada 20 November 2025, Anggota DPRD Pasangkayu Muh. Dasri menegaskan agar Dinas PUPR tidak mengeluarkan rekomendasi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) untuk perpanjangan atau perluasan HGU perusahaan mana pun yang sedang berkonflik dengan masyarakat, sebelum seluruh pihak mencapai kesepakatan bersama.
Sangat wajar bila dilakukan suatu “situation analysis.” Kenapa pihak Astra Grup “lemah merespon (Slow Respons)” terkait kejelasan Tata Batas kepemilikan Hak Guna Usaha (HGU) nya? Ada gejala apa? Zaman kita sekarang memang ditantang oleh gejala social symptom yang namanya Disinformasi. Banyak orang pandai yang berpengetahuan, tetapi berkhianat dalam memberikan informasi. Dan gejala Disinformation ini bukan hanya di Indonesia, tetapi dimana-mana, sudah menjadi global symptom. Zaman kita sekarang memang ditantang oleh social symptom yang namanya Disinformasi. Ambil satu contoh indikasi “post truth” àla Community Development Area Manager (CDAM) Area Celebes PT Pasangkayu (2025) yang menarasikan bahwa sejak awal pembukaan lahan, perusahaan telah mengikuti seluruh prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah sesuai dengan ketentuan yang berlaku pada saat itu.
Pertanyaannya: Apakah kewajiban sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan pada Pasal 99, Ayat (1) huruf a, yang menyatakan bahwa pemegang Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan wajib antara lain: Melaksanakan tata batas areal Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan, telah dijalankan sebelum ada penegakan hukum satgas PKH? Untuk diketahui bahwa Negara berpotensi kehilangan kesempatan untuk memperoleh PNBP dari areal PPKH yang belum dilaksanakan tata batas. Juga Faktanya, hingga tulisan ini dibuat, masih ada konflik lahan dengan warga.
Siapa pemenang dari konflik ini? Kita tentunya ingat sejarah dulu tentang Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755 di Desa Jantiharjo, di Karanganyar, Jawa Tengah pada 13 Februari 1755. Usulan “site of negotiations” dari pihak VOC, dan disepakati oleh para pihak yang berseteru, ternyata memang efektif, sebab faktanya terjadi kesepakatan. Yang akhirnya membagi kerajaan Mataram Islam menjadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Ngayogyakarta.Tetapi kita tahu, sebelum Perjanjian Giyanti di tahun 1755 itu, VOC terlebih dahulu memecah kekuatan oposisi duet Pangeran Mangkubumi-Pangeran Sambernyawa yang berontak sejak 1749. VOC berhasil meyakinkan Mangkubumi untuk mendukung visi pembagian wilayah kekuasaan bersama-sama Pakubuwana III, yang sudah lebih dulu berhasil diyakinkan VOC pada bulan September 1754. Jadi, dalam penyelesaan konflik lahan antara warga dengan Astra group di kab Pasangkayu, segala kalkulasi terkait MAD, segala pertimbangan BATNA dan diagnosa ZOPA harus jelas dan tuntas! MAD = minimum acceptable demand; BATNA = best alternative to a negotiated agreement; dan ZOPA = zone of possible agreement. “Pointers of negotiations”-nya berpihak kepada warga/rakyat.
Pecahnya kekuatan politik Mataram Islam di Jawa melalui Perjanjian Giyanti menjadi dua kubu, memang menjadi kepentingan pihak VOC. Yang cerdas membaca dan memanfaatkan friksi-friksi politik internal perebutan kekuasaan di lingkungan Keraton sendiri. Pemenang Perjanjian Giyanti di tahun 1755 itu adalah VOC! Silahkan saja Anda pelajari sejarah, konsesi apa saja yang diperoleh VOC di wilayah Mataram Islam yang terbelah dua, baik di Surakarta maupun di Yogyakarta, pasca Perjanjian Giyanti. VOC memang sudah kolep/bangkrut sejak tahun 1799. Tetapi saat ini kita sedang menghadapi “the new VOC” yang tetap ingin menguasai Sumber Daya Alam kita, termasuk Hutan, sementara rakyat yang mukim disekitar hutan, tersisih dan terancam haknya. Dan Anda tentu sudah paham, “the new VOC” ini tidak tampil dalam “single identity” melainkan “multiple identities.” Mereka berlindung dibalik berbagai topeng keren, terkesan suci dan intelektual, pendeknya sangat kredibel dengan reputasi mumpuni. Topeng ini bisa sosok individual, bisa sosok institusi, kelaminnya bias wanita atau pria, usianya muda atau tua, bahkan barangkali ada bintang/pernah ada di pundaknya, atau punya payung parpol. Mereka terindikasi hanya memikirkan diri sendiri dan kelompoknya, dan berkepentingan untuk menggagalkan Visi Indonesia Emas (VIE) 2045, sehingga bonus demografi dapat berbalik menjadi bencana demografi (demographic disaster) akibat terjadinya gejala middle income trap. Kalau dua hal ini terjadi kab Pasangkayu, maka VIE 2045 di kab Pasangkayu bisa saja gagal terwujud.
Oleh sebab itulah, perlu “kreativitas” untuk membalikkan keadaan agar skema penyelesaian konflik lahan antara masyarakat dengan Astra Group di kab Pasangkayu benar-benar bukan “Pepesan Kosong”, bukan “Rekomendasi RDPU demi RDPU” yang mengulang tanpa solusi nyata. Kesatuan masyarakat hukum setempat menginginkan lahannya untuk kembali berkebun dengan tata batas yang jelas dan dapat menjalankan kehidupannya secara berkelanjutan dengan sejahtera.
Redaksi ( Dian Surahman/tim.)











