Oleh:Izhar Ma’sum Rosadi (Pemerhati Kebijakan Publik dan Ketua Umum DPP LSM BALADAYA) Senin 15 Desember 2025.
BN NEWS -BEKASI,-Saya pernah menulis di Media Online (12/12/2025) dengan judul Konflik Tata Batas Lahan Warga Dengan Perkebunan Sawit Astra Group Di Kab Pasangkayu Sulawesi Barat. Pada tulisan tersebut, saya menggarisbawahi, aktivitas penyelesaian konflik melalui lembaga yudikatif (Peradilan) dan eksekutif (Pemerintah Pusat/Daerah) dan Legislatif (DPR RI/DPRD). Salah satu yang menonjol adalah adanya kehendak rakyat, yakni, pertama, “….Pada 1991, ketika Rambuyu berusia 32 tahun, perusahaan tim Mamuang datang mengukur lahan di kampungnya. “Kenapa kampung diukur?” katanya.”Ini untuk memetakan luasan Kampung Pasang Kayu,” kata tim perusahaan. ……. Beberapa bulan kemudian……… Beberapa kuburan ikut dirusak. Kakao, kopi, kelapa dekat rumah, hingga padi musnah. “Bapak saya menangis saksikan itu. Orang-orang kampung menangis. Tidak bisa melawan,” kata Rambuyu…………..Ketika beberapa warga mulai mempertanyakan hak tanah mereka pada 2012, DPRD Mamuju Utara (sekarang Pasang Kayu) menggelar dengar pendapat. Pada 24 Mei 2012, dewan kabupaten mengirimkan surat pada PT Pasang Kayu, dengan dua poin utama. Pertama, memberikan kebebasan pada kelompok tani mengukur kembali wilayah mereka sepanjang tak memasuki HGU perusahaan. Kedua, dalam penanaman baru maupun penanaman kembali (replanting) perusahaan tak memasuki perkebunan masyarakat. Apa daya, kondisi lapangan tak pernah sejalan. Perusahaan tetap menanam dan tak pernah memberikan izin masyarakat mengukur lahan sendiri.”” (Eko Rusdianto, uraikan dalam tulisannya yang berjudul “Konflik Lahan antara Warga dan Perusahaan Sawit Astra Tak Kunjung Usai”, Mongabay Indonesia, 2019).

Dan kedua, Dr. H. SUHARDI DUKA, M.M dalam minutes of meeting Komisi IV DPR RI (KK IV) Gedung Nusantara DPR RI, Senayan, Jakarta Selasa, 28 Maret 2023, menyampaikan “Yang pertama saya ingin sampaikan dulu kondisi di daerah yaitu terhadap konflik PT Mamuang dari Astra dengan masyarakat Kabuyu di Kabupaten Pasangkayu, Sulawesi Barat. Sebenarnya masyarakat Kabuyu ini adalah masyarakat adat, dia sudah menanam sawit di situ, tapi setelah keluar apa ya kawasan hutan ini diberikan kepada PT Mamuang, mendapatkan HGU, kemudian PT Mamuang membabat sawit rakyat ini. Jadi, sebenarnya yang keliru ini siapa ini, di satu sisi rakyat kita korban akibat ya janganlah sawitnya yang rakyat di… di… dengan alasan bahwa PT Mamuang ini menganggap bahwa ini HGU saya.”
Dua kutipan tersebut mengandung terganggunya kedaulatan rakyat yang berkehendak untuk mengolah kebun guna melanjutkan kehidupanya lebih sejahtera dan berkualitas. Kehendak rakyat itu berupa kedaulatan rakyat di atas tanah yang memberikan sumber kehidupan. Kedaulatan rakyat di kab pasangkayu itu terganggu dengan keberadaan perkebunan kelapa sawit PT Mamuang ( anak perusahaan PT Astra Agro Lestari tbk anak perusahaan PT ASTRA Internasional tbk, anak perusahaan Jardine Matheson Holdings Ltd (merupakan entitas induk utamanya) yang didirikan di Bermuda, milik Keluarga Keswick, saudagar Inggris). Meskipun Indonesia pernah dijajah Inggris secara singkat pada tahun 1811 hingga 1816, yang mana masa penjajahan itu mengakhiri kekuasaan VOC/Belanda untuk sementara dan akhirnya dikembalikan lagi ke Belanda lewat Konvensi London pada 1814, kini Indonesia sudah menjadi tanah air yang merdeka dan berdaulat sejak 1945. Sebagai negara yang berdaulat, eksistensi kedaulatan dan kehendak rakyat tersebut memang memperoleh tempat dalam pilihan demokrasi yang kita anut. Kedaulatan rakyat atau supremasi warganegara mengharuskan pengelolaan negara senantiasa mendengar kehendak rakyat yang oleh Rousseau dalam traktatnya diistilahkan sebagai the general will.
———————————————————————
DISCLAIMER: Analisis ini adalah 100% “menggunakan kacamata supremasi warganegara yang mengharuskan pengelolaan negara senantiasa mendengar kehendak rakyat”. Oleh karena yang menjadi “raison d’être”-nya seperti itu, ya Anda jangan baper. Yang tidak suka dengan analisis ini, silahkan berhenti membaca sampai paragraf disclaimer ini saja. Yang penasaran, silahkan lanjut membaca.
———————————————————————
General will Masyarakat adat kabayu adalah tetap memperjuangkan tanah ulayat mereka setelah selama hampir 35 tahun, kurang lebih total 200 KK di Kabuyu telah hidup di tengah krisis ruang & hidup yang terbatas, terpinggirkan oleh industri kelapa sawit PT Mamuang. Masyarakat adat Kabuyu telah tinggal dan bertani/berkebun di sekitaran tepi sungai Pasangkayu secara turun temurun. Ratusan warga yang tergabung dalam Forum Kesatuan Masyarakat (FKM) Pasangkayu berunjuk rasa di tengah perkebunan kelapa sawit PT Mamuang pada 2022 yang lalu. General will Masyarakat adat kabuyu yang bergabung di FKM Pasangkayu adalah menuntut penghentian aktivitas perusahaan di sebuah lahan seluas kurang lebih 4000 Ha (empat ribu hektar) yang diklaim adalah milik warga. Klaim kepemilikan tersebut dapat dimaklumi karena tanah tersebut merupakan tanah hasil pembukaan tanah.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI dalam “Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Pengelolaan Dan Pertanggungjawaban Pelayanan Pertanahan Entitas Yang Berbadan Hukum Tahun 2020 Sampai Dengan 2021 (Semester I) Pada Kementerian Agraria Dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional Di Jakarta, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Dan Sulawesi Tengah, Nomor Tanggal : 83/LHP/XVI/06/2022 : 10 Juni 2022,” menguraikan cara terjadinya hak atas tanah menurut peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan, salah-satunya yakni Hak atas tanah terjadi menurut Hukum Adat Hak atas tanah yang terjadi menurut hukum adat adalah Hak Milik. Terjadinya Hak Milik ini, diantaranya melalui pembukaan tanah. Pembukaan tanah adalah pembukaan hutan yang dilakukan bersama-sama oleh masyarakat hukum adat yang dipimpin oleh kepala/ketua adat. Selanjutnya kepala/ketua adat membagikan hutan yang sudah dibuka tersebut untuk pertanian atau bukan pertanian kepada masyarakat hukum adat.
Klaim kepemilikan tanah oleh masyarakat Kabuyu juga dapat dipahami karena HGU PT Mamuang tumpang tindih hak atas tanah (Tanah masyarakat yang berdasarkan Surat Keterangan Tanah (SKT) dan Surat Garapan Lokasi, Data yuridis atau data fisik tidak benar dan salah lokasi yang mana di sertifikat HGU berbunyi desa Martajaya, tetapi obyek tanah yang ditanami kelapa sawit berada di desa Martasari Kabupaten Pasangkayu, salahsatu desa yang berkembang dari program Transmigrasi. Kabupaten pasangkayu telah menjadi daerah tujuan transmigrasi sejak 1982. Berdasarkan informasi warga setempat bahwa dahulu pada tahun 1988 ada program penanaman coklat dari pemerintahan Suharto. Kehadiran PT Mamuang seharusnya tidak berkonflik dengan penduduk di sekitarnya. Kepres Nomor 32 Tahun 1979 pasal 1 ayat (1) bahwa tanah HGU, HGB dan Hak pakai asal konversi hak barat yang jangka waktunya berakhir selambat-lambatnya pada tanggal 24 september 1980 sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 5 tahun 1960 pada saat berakhirnya hak yang bersangkutan menjadi tanah yang dikuasai oleh negara; ayat (2) bahwa tanah-tanah tersebut ditata kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikannya dengan memperhatikan masalah tata guna, sumber daya alam dan lingkungan hidup, keadaan kebun dan penduduknya, rencana pembangunan daerah dan kepentingan-kepentingan bekas pemegang hak dan penggarap.
Selain itu, Sesuai dengan kebijakan Pemerintah Indonesia, hak guna usaha untuk perkebunan diberikan apabila perusahaan inti bersedia mengembangkan areal perkebunan untuk petani plasma lokal, disamping mengembangkan perkebunan miliknya sendiri. Namun, berdasarkan pada catatan atas laporan keuangan konsolidasian PT Astra Agro Lestari tbk dan entitas anak 30 September 2025, diketahui bahwa PT Mamuang tidak menjalankan Perkebunan Plasma 20%. Beberapa kebijakan Pemerintah Indonesia sekaian dengan plasma, yaitu Permentan No. 26 Tahun 2007 Pasal 11 Ayat 1, Permentan No. 98 Tahun 2013 Pasal 15 Ayat 1. Selain itu, regulasi lain yang mendukung ketentuan ini terdapat dalam UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Pasal 58 UU Cipta Kerja menyebutkan bahwa perusahaan perkebunan yang memperoleh izin usaha budidaya dari area penggunaan lain atau pelepasan kawasan hutan wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar seluas 20% dari luas lahan tersebut. HGU bisa saja tidak akan terbit jika tak sesuai kebijakan plasma dan tata ruang. Salah satu contoh, pada 2017 PT SC mengajukan permohonan SK Pemberian Hak Guna Usaha Badan Hukum, permohonan belum diproses karena bidang tanah yang dimohon terindikasi berada pada lokasi transmigrasi, persyaratan plasma belum mencukupi syarat luas minimum 20%, dan belum melengkapi SK calon petani plasma (BPK RI, 2022).

Pada 2022, Masyarakat Kabuyu telah memberikan data pertanahan mereka. Penuntasan konflik agrarian di kab Pasangkayu di bawah kabinet Prabowo jangan hanya sebatas gertak sambal. Perlu langkah konkret yang harus segera dilakukan agar penyelesaian konflik agraria tidak mengulang kegagalan sebelumnya. Konflik Tata Batas lahan ini mampu membuat gaduh publik karena semakin bebasnya akses masyarakat pada informasi serta kian menguatnya fungsi kontrol media dan kekuatan civil society. Meskipun kerap “dipelototi” banyak pihak, konspirasi banyak aktor dalam kekisruhan HGU PT Mamuang ini diindikasikan tetap saja terjadi.
Oleh karena itu, jika kita setuju mengatakan: tidak! pada kecurangan penerbitan dan pengelolaan HGU, maka mulailah kita menuntut pertanggungjawaban (pejabat) pemerintah untuk segera mengatasi masalah elementer ini dan menjamin penyelenggaraan tata kelola pertanahan yang sehat dan berwibawa. Bolehkah sebuah penyelesaian konflik dipesan oleh mereka yang memiliki kepentingan pribadi? Sebenarnya ya harus berpikir dua atau tiga kali. Karena, salah satu yang akan dipertaruhkan adalah integritas! Apalagi jika ada perilaku pejabat yang melakukan seperti apa yang oleh Jean Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra sebut sebagai simulasi realitas. Dalam konteks ini, tindakan si pejabat bertujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu atau seolah-olah membela rakyat dan atau mewakili kenyataan padahal tidak sama sekali, maka hal itu dengan cepat akan bisa diraba oleh banyak pihak.
Konflik lahan antara masyarakat dengan PT Mamuang adalah bentuk pengkhianatan kepada NKRI, rakyat dan tanah ulayat adalah syarat mutlak berdirinya negara. Mengabaikan hak hak ulayat dengan merampas seolah PT Mamuang melegalkan dengan kekuasaan merampas tanah rakyat adalah bentuk- bentuk penjajahan, bentuk kesadisan yang dibekingi oknum aparat pemerintah terkait, semua prosedur untuk mendapatkan hak dan keadilan sudah masyarakat tempuh, tetapi pemerintah belum memberikan yang diharapkan rakyat.
Jauh akan lebih fair dan elegan jika penyelesaian konflik tidak hanya gertak sambal saja, yakni negara dapat segera membebaskan Martasari dari klaim HGU PT Mamuang, dan mengembalikan 4000 Ha kepada Masyarakat Kabuyu sehingga kongkret dan tidak kembali menjadi “penyakit menahun” yang diwariskan dari rezim ke rezim. Sejak zaman Orde Baru hingga Orde Reformasi, masih kerap berkutat di persoalan yang itu-itu saja.***
Di Edit Oleh : Dian Surahman /Red.









